beritapembangunan.web.id Rencana pembangunan kawasan wisata baru di Pantai Sanglen memunculkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan warga lokal. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Sulistiyah, seorang perempuan sepuh dari Kalurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari. Ia khawatir mata pencaharian yang sudah digelutinya bertahun-tahun akan hilang begitu saja akibat pengembangan pariwisata yang semakin masif di wilayah tersebut.

Sulistiyah berjualan makanan di Pantai Sanglen sejak lama. Usianya tidak lagi muda, namun semangatnya tetap besar karena warung kecil itu adalah satu-satunya sumber pendapatan. Lokasi pantai yang tidak jauh dari rumahnya membuat pekerjaan tersebut menjadi pilihan paling rasional. Namun, perubahan besar yang direncanakan investor membuat ia merasa masa depannya semakin tidak pasti.

Warung yang Dibangun Dengan Harapan untuk Bertahan

Sulistiyah mendirikan kembali warungnya setelah sebelumnya ia membongkarnya akibat perintah pengosongan lahan. Instruksi untuk meninggalkan area jualan sudah diterimanya sejak beberapa tahun lalu. Saat itu, PT Biru Binanti Indonesia (BBI), yang dikenal dengan brand Obelix, menyampaikan rencana ekspansi bisnis wisata di wilayah Kemadang.

Ketidakpastian membuat Sulistiyah sempat menyerah. Namun karena himpitan kebutuhan hidup, ia kembali membangun warung tersebut beberapa waktu kemudian. Yang membuatnya berani adalah fakta bahwa pedagang lain juga menolak pergi. Mereka berdiri bersama, berharap ada jalan tengah yang adil bagi masyarakat yang telah lama menggantungkan hidup di Pantai Sanglen.

Menurut Sulistiyah, tidak ada pilihan lain. Usia membuatnya sulit mencari pekerjaan baru, sementara kebutuhan hidup terus berjalan. Warung kecilnya memberi kesempatan untuk tetap mandiri tanpa membebani keluarga.

Investor Masuk, Warga Merasa Terpinggirkan

PT BBI bukan nama baru di sektor wisata Gunungkidul dan sekitarnya. Mereka telah mengelola berbagai objek wisata populer seperti Obelix See Views dan Obelix Hills. Kehadiran investasi memang membawa potensi peningkatan ekonomi daerah, namun bagi sebagian warga lokal, hal tersebut justru menimbulkan ketakutan.

Warga Pantai Sanglen khawatir ekspansi bisnis wisata membuat mereka kehilangan ruang ekonomi. Mereka merasa belum mendapatkan kejelasan mengenai hak atas lahan tempat mereka mencari nafkah bertahun-tahun. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya komunikasi yang menjelaskan posisi pedagang lokal dalam rencana pengembangan tersebut.

Di sisi lain, peningkatan pariwisata membawa peluang besar yang sebenarnya bisa melibatkan warga. Namun tanpa kebijakan yang melindungi pelaku ekonomi mikro, rasa waswas semakin besar.

Pariwisata Gunungkidul Berkembang Pesat

Sejak beberapa tahun terakhir, Gunungkidul mencatat kenaikan signifikan dalam jumlah wisatawan. Data Dinas Pariwisata menunjukkan kunjungan mencapai jutaan orang per tahun. Pantai Sanglen ikut mendapatkan dampaknya karena berada di kawasan pantai selatan yang terkenal memiliki pemandangan indah dan akses lebih mudah dibanding masa lalu.

Kenaikan jumlah wisatawan membuat banyak warga memilih berdagang di sekitar pantai. Mereka memanfaatkan momen tersebut untuk membuka usaha kecil seperti warung makan, penyewaan tikar, hingga jasa parkir. Pantai Sanglen menjadi salah satu titik ekonomi baru yang membantu warga lokal tetap bertahan hidup.

Namun pertumbuhan pariwisata yang pesat juga mendorong masuknya perusahaan besar. Inilah yang membuat ketegangan muncul. Warga ingin berkembang bersama perubahan, bukan tersingkir karenanya.

Perlawanan Warga Menguat, Komunitas Semakin Solid

Sulistiyah tidak sendiri. Banyak pedagang di Pantai Sanglen berpikiran sama. Mereka khawatir pembangunan wisata berskala besar menghilangkan ruang usaha rakyat kecil. Para pedagang kini semakin kompak menolak digusur tanpa solusi yang manusiawi.

Mereka berharap pemerintah daerah dan investor memberi ruang dialog yang jelas. Keinginan warga sederhana: tetap bisa mencari nafkah sembari mendukung perkembangan wisata. Bagi mereka, pembangunan tidak harus menyingkirkan rakyat kecil. Justru seharusnya melibatkan warga lokal sebagai bagian penting dari ekosistem wisata.

Solidaritas para pedagang membuat keberanian mereka tumbuh. Jika dulu banyak yang takut untuk menyampaikan suara, kini mereka lebih tegas memperjuangkan hak atas penghidupan yang selama ini mereka bangun sendiri.

Harapan Akan Solusi yang Adil dan Berkelanjutan

Kekhawatiran warga Pantai Sanglen menunjukkan bahwa pembangunan wisata harus dilakukan dengan pendekatan yang manusiawi. Pemerintah daerah diharapkan hadir sebagai mediator yang adil. Warga ingin kepastian tempat berdagang, baik dalam bentuk relokasi yang layak atau integrasi pedagang ke dalam rencana wisata baru.

Dari sudut pandang ekonomi, pedagang lokal sebenarnya memiliki kontribusi penting. Mereka adalah wajah pertama yang ditemui wisatawan. Mereka juga bagian yang memelihara atmosfer pantai agar tetap hidup. Jika mereka tersingkir, bukan hanya penghidupan mereka yang hilang, tetapi juga keunikan pantai itu sendiri.

Selain itu, masyarakat berharap investor tidak hanya memikirkan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan sosial. Kemitraan dengan warga adalah langkah penting untuk menciptakan wisata yang berkelanjutan. Pendekatan seperti ini terbukti berhasil di banyak daerah wisata lain di Indonesia.

Kesimpulan: Pembangunan Wisata Harus Melibatkan Warga Lokal

Kisah Sulistiyah dan warga Pantai Sanglen menggambarkan dilema antara perkembangan pariwisata dan keberlangsungan hidup masyarakat. Pembangunan wisata memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan pelaku ekonomi kecil yang sudah lama menjaga area tersebut.

Harapannya, semua pihak dapat duduk bersama mencari jalan tengah. Warga ingin beradaptasi dan ikut berkembang. Mereka hanya berharap diberi ruang yang adil, agar pembangunan tidak hanya memperindah destinasi wisata, tetapi juga memperkuat kesejahteraan masyarakat yang tinggal dan bekerja di sekitarnya.

Cek Juga Artikel Dari Platform festajunina.site

By Blacky